Krisis air telah menjadi masalah yang semakin serius di Indonesia, salah satunya akibat perubahan iklim yang memperburuk kualitas sumber daya air. Baru-baru ini, hasil studi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang melibatkan ribuan rumah tangga di seluruh Indonesia mengungkapkan bahwa hampir 70 persen sumber air minum tercemar limbah tinja. Fakta ini semakin memperparah tantangan yang kita hadapi dalam memastikan ketersediaan air bersih dan aman bagi masyarakat.

Namun, ada secercah harapan melalui sebuah inovasi yang dapat menjadi solusi jangka panjang: pemanfaatan air hujan. Di tengah keprihatinan akan kualitas air bersih, teknologi Gama Rain Filter yang dikembangkan oleh Prof. Dr.-Ing. Ir. Agus Maryono, Guru Besar Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, menjadi terobosan yang menjanjikan. Teknologi ini memungkinkan air hujan yang tampaknya tidak layak konsumsi untuk disaring dan diproses menjadi air bersih yang memenuhi baku mutu syarat air minum. Proses filtrasi tiga tahap pada Gama Rain Filter, yang mencakup penyaringan ranting, debu kasar, dan debu halus, menghasilkan air hujan yang murni, higienis, dan aman untuk dikonsumsi.

Menurut Prof. Dr.-Ing. Ir. Agus Maryono, IPM., ASEAN Eng hasil penelitian yang sudah di lakukan di 50 titik menunjukkan bahwa secara Fisika, Kimia, dan Biologi, air hujan memenuhi baku mutu syarat air bersih bahkan sebagai air minum. Karena Gama Rain Filter ada 3 penfilteran, penfilteran pertama untuk menangkap ranting, dahan, penfilteran kedua untuk menangkap debu kasar, dan yang ketiga untuk menangkap, membuang debu halus, maka air yang masuk ke tangki(tandon) jadi air hujan yang sudah melalui proses secara SOP akan bersih, murni, higienis.

Penting untuk dicatat bahwa teknologi ini bukan hanya sebuah inovasi, tetapi juga sebuah gerakan sosial yang terbuka untuk diterapkan oleh masyarakat luas tanpa dikenakan royalti. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Agus, “Gama Rain Filter adalah teknologi yang dapat diaplikasikan di mana saja, baik oleh individu maupun oleh lembaga atau perusahaan, dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.”

Baca juga:

Gerakan ini semakin diperkuat oleh peran serta berbagai pihak, mulai dari akademisi, praktisi, aktivis konservasi, volunteer, hingga media yang turut berkolaborasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Salah satu contoh nyata dari kolaborasi ini adalah Sekolah Air Hujan Banyu Bening di Sleman, yang menjadi tempat pembelajaran bagi banyak pihak yang ingin mengadopsi metode pemanenan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Berbagai daerah didorong untuk dapat mengadopsi inovasi ini salah satunya IAIN Sorong, Papua Barat Daya, yang tertarik mempelajari pengelolaan air bersih akibat kekhawatiran terhadap kualitas air tanah dan PDAM yang tidak layak konsumsi. Mengingat curah hujan yang tinggi di Sorong, mereka melihat potensi air hujan sebagai alternatif, mengingat selama ini air hujan hanya digunakan untuk mandi dan cuci, sementara air minum lebih sering diperoleh dari air isi ulang atau kemasan. Pemikiran ini juga dilatarbelakangi oleh kebutuhan efisiensi anggaran, termasuk biaya listrik untuk mesin sumur bor di kampus IAIN Sorong.

Sri Wahyuningsih, salah satu penggerak Sekolah Air Hujan, menyatakan bahwa mereka membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin belajar mengenai cara-cara efisien memanen air hujan, baik dengan metode manual maupun menggunakan teknologi Gama Rain Filter. Menurutnya, “Air hujan bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk makhluk hidup lainnya yang ada di bumi.” Ini mencerminkan semangat inklusif yang menjadi landasan gerakan pemanenan air hujan, yang tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan manusia, tetapi juga dengan kelestarian lingkungan secara keseluruhan.

Selain itu, pentingnya konservasi lingkungan juga disampaikan oleh Kamaludin, Ketua JAKA TARUB, yang telah konsisten mengembangkan pembibitan tanaman untuk konservasi lingkungan di Yogyakarta. “Kita harus bertindak untuk menjaga bumi ini agar tetap seimbang, karena bencana yang terjadi saat ini adalah akibat dari kerusakan lingkungan yang terus berlanjut,” ujarnya.

Semangat yang sama juga dikemukakan oleh AJ. Purwanto (Cak Jie Soerabaja), seorang aktivis lingkungan yang menekankan pentingnya kesadaran akan peran kita sebagai khalifah di bumi. “Di dalam Al Qur’an, Allah SWT menyampaikan bahwa kita diciptakan untuk mengelola bumi. Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana,” tegas Cak Jie.

Dengan bergandeng tangan antara akademisi, praktisi, aktivis, volunteer, dan media, kita dapat membangun gerakan besar yang tidak hanya menghadirkan solusi teknis, tetapi juga mengubah cara pandang masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya alam, khususnya air hujan. Keberhasilan dari gerakan ini akan sangat bergantung pada kolaborasi lintas sektor yang dapat mendorong implementasi solusi konkret di tingkat masyarakat.

Melalui sinergi ini, kita berharap bisa memberikan kontribusi nyata bagi pemenuhan kebutuhan air bersih yang lebih berkelanjutan, sekaligus menyelamatkan bumi dari ancaman perubahan iklim yang semakin nyata. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an, “Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum?” (Al-Waqiah: 68), kita semua diajak untuk lebih memperhatikan dan menjaga sumber daya alam yang telah Allah berikan kepada kita.

Mari bersatu dan beraksi, demi masa depan bumi dan generasi yang akan datang.

Penulis

AJ. Purwanto, Aktivis dan Pemerhati Lingkungan