Sebagai negara dengan risiko bencana tertinggi kedua di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam melindungi sekolah-sekolah di wilayah rawan bencana. Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), yang diinisiasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan di lingkungan pendidikan guna melindungi siswa, guru, dan staf sekolah. Namun, keterbatasan anggaran yang ada menjadi penghambat utama dalam pelaksanaan program ini secara efektif. Padahal, frekuensi bencana alam yang semakin meningkat menunjukkan bahwa urgensi pelaksanaan SPAB sangat tinggi.

Risiko Bencana di Indonesia

Keistimewaan Indonesia yang berada di Zona Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), dengan aktivitas seismik dan vulkanik yang tinggi, membuatnya rentan terhadap berbagai bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem. Laporan dari World Risk Index (WRI) 2024 menempatkan Indonesia pada peringkat kedua dengan Indeks Risiko Dunia sebesar 41,13 dari 100, setelah Filipina yang menduduki peringkat pertama dengan skor 46,91. Penilaian ini mencakup paparan terhadap bahaya alam, kerentanan populasi, serta kapasitas masyarakat untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap bencana. Tingkat risiko ini juga diperburuk oleh dampak perubahan iklim global yang meningkatkan intensitas dan frekuensi bencana.

Laporan WRI 2024, yang mengevaluasi 193 negara, menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia dalam manajemen risiko bencana. Secara geografis, Indonesia berada di pertemuan lempeng tektonik aktif serta memiliki kondisi topografi yang rawan bencana. Daerah pegunungan yang curam, dataran rendah yang mudah banjir, dan banyaknya penduduk yang tinggal di kawasan pesisir membuat Indonesia semakin rentan terhadap bencana. Situasi ini menuntut adanya kesiapsiagaan dan langkah mitigasi bencana yang lebih kuat dan berkelanjutan, terutama di lingkungan pendidikan yang menampung banyak siswa.

Urgensi Implementasi SPAB

Mengingat tingginya risiko bencana, pelaksanaan SPAB di sekolah-sekolah di Indonesia menjadi sangat penting. Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa lebih dari 500 ribu sekolah di Indonesia, dengan total lebih dari 60 juta siswa dan 5 juta pendidik, berada di wilayah yang rawan bencana. Dari total tersebut, sekitar 57% satuan pendidikan terpapar lebih dari satu ancaman bencana. Misalnya, 413 ribu sekolah (78%) berisiko mengalami gempa bumi, 202 ribu (38%) berisiko banjir, 49 ribu (9%) terancam tanah longsor, dan 8 ribu (1,5%) terancam tsunami serta letusan gunung api. Pada tahun 2024 saja, 2.094 sekolah terdampak bencana, yang mempengaruhi 235.257 peserta didik dan mengganggu lebih dari 11.793 ruang kelas.

Program SPAB, yang mencakup penguatan sarana infrastruktur, manajemen risiko bencana di sekolah, dan pendidikan resiliensi bencana, bertujuan untuk melindungi komunitas sekolah dari risiko-risiko ini. Meski implementasinya telah dilakukan di beberapa sekolah di kawasan berisiko tinggi, kendala anggaran menyebabkan sulitnya memperluas cakupan SPAB ke wilayah lain yang juga membutuhkan program ini. Keterbatasan anggaran ini berdampak pada penerapan program SPAB yang belum merata di Indonesia, dengan banyak sekolah yang belum dapat memfasilitasi kebutuhan dasar untuk kesiapsiagaan bencana.

Tantangan Utama Implementasi SPAB

Keterbatasan dana menjadi tantangan terbesar dalam pelaksanaan SPAB. Sebagian besar sekolah di Indonesia mengandalkan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai sumber dana utama, yang memiliki alokasi terbatas untuk mendukung kesiapsiagaan bencana. Dana BOS sering kali tidak cukup untuk mendukung pembangunan fasilitas aman bencana atau memberikan pelatihan kebencanaan yang intensif. Dukungan dari APBN dan Dana Alokasi Khusus (DAK) juga belum cukup signifikan, sementara kontribusi dari sektor swasta melalui CSR masih sangat terbatas.

Akibat keterbatasan anggaran ini, beberapa program SPAB hanya berlangsung selama 1-3 tahun, tanpa jaminan keberlanjutan. Dengan alokasi dana yang terbatas, banyak sekolah tidak dapat menyediakan fasilitas penting seperti jalur evakuasi, tanda peringatan dini, dan pelatihan berkelanjutan bagi siswa dan staf sekolah. Padahal, infrastruktur ini adalah bagian penting dari pilar pertama SPAB, yaitu Fasilitas Aman Bencana, yang membutuhkan investasi besar untuk pembangunan struktural yang tahan terhadap bencana.

Minimnya anggaran tidak hanya menghambat pengembangan fasilitas tahan bencana, tetapi juga menurunkan kesiapsiagaan siswa dan guru dalam menghadapi bencana. Tanpa fasilitas yang memadai dan pelatihan yang rutin, siswa dan staf sekolah memiliki keterampilan yang terbatas dalam merespons peringatan dini bencana. BNPB mencatat bahwa pada gempa bumi Lombok 2018, 669 sekolah mengalami kerusakan parah, sementara gempa di Sulawesi Barat pada 2021 menghancurkan 356 sekolah, menunjukkan besarnya dampak bencana terhadap fasilitas pendidikan.

Selain itu, keterbatasan fasilitas dasar di sekolah-sekolah di daerah terpencil semakin memperparah kondisi ini. Banyak sekolah belum dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran, jalur evakuasi yang jelas, dan sistem peringatan dini yang efektif. Ketika terjadi bencana mendadak, siswa dan staf sekolah berada dalam risiko besar tanpa adanya kesiapan dan perlindungan yang memadai.

Peluang Implementasi SPAB

Dukungan pendanaan yang lebih besar dari pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan untuk memastikan kelangsungan dan efektivitas SPAB. Peningkatan alokasi dana akan memungkinkan pengadaan fasilitas aman bencana, pelatihan rutin bagi staf dan siswa, serta pengembangan prosedur evakuasi yang lebih sistematis. Selain itu, pemerintah dapat mengoptimalkan kerjasama dengan sektor swasta melalui CSR untuk mendukung kebutuhan anggaran program ini.

Dengan anggaran yang lebih memadai, pelaksanaan SPAB akan menjadi lebih berkelanjutan. Sekolah-sekolah tidak hanya memerlukan dana untuk satu kali implementasi, tetapi juga pendampingan dan monitoring berkala agar program ini terus berjalan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa seluruh komunitas sekolah memahami tindakan yang harus diambil saat terjadi bencana.

SPAB bukan hanya upaya untuk melindungi siswa dan staf sekolah, tetapi juga investasi dalam menciptakan generasi muda yang tangguh dan sadar akan pentingnya mitigasi bencana

Kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan sangat penting untuk memperkuat implementasi SPAB di Indonesia. Penerapan pendekatan Pentahelix yang melibatkan pemerintah, akademisi, sektor swasta, organisasi masyarakat, dan media dapat meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap risiko bencana di sekolah. Kolaborasi ini bertujuan untuk menciptakan generasi muda yang tidak hanya memahami risiko yang mereka hadapi tetapi juga mampu bertindak sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

Dengan memperkuat implementasi SPAB dan pendidikan kebencanaan di sekolah-sekolah, Indonesia tidak hanya menyiapkan generasi muda yang tangguh menghadapi bencana, tetapi juga mendukung tercapainya visi Indonesia Emas 2045. Generasi yang terdidik dan siap siaga dalam menghadapi berbagai ancaman alam akan menjadi pilar ketahanan bangsa di masa depan, memperkuat stabilitas sosial, ekonomi, dan lingkungan. Melalui pendidikan kebencanaan yang merata dan berkelanjutan, diharapkan anak-anak Indonesia tidak hanya menjadi agen perubahan dalam mengurangi risiko bencana di lingkungannya, tetapi juga berperan aktif dalam membangun bangsa yang resilien dan siap menghadapi tantangan global di tahun 2045.SPAB adalah langkah strategis untuk menciptakan sekolah-sekolah yang aman dan tangguh dalam menghadapi bencana alam di Indonesia. Namun, keterbatasan anggaran terus menjadi penghambat utama pelaksanaan program ini. Dengan dukungan pendanaan yang lebih kuat, kolaborasi antar-sektor yang efektif, serta keterlibatan masyarakat yang lebih luas, SPAB dapat diimplementasikan secara berkesinambungan dan membantu Indonesia mengurangi risiko bencana di lingkungan pendidikan.

SPAB bukan hanya upaya untuk melindungi siswa dan staf sekolah, tetapi juga investasi dalam menciptakan generasi muda yang tangguh dan sadar akan pentingnya mitigasi bencana. Diharapkan, dengan penguatan program ini, sekolah-sekolah di Indonesia akan lebih siap dalam menghadapi ancaman bencana, serta mampu melindungi seluruh komponen pendidikan dari dampak bencana yang mungkin terjadi.

ABOUT AUTHOR

Muhamad Irfan Nurdiansyah

Peneliti, Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada